copy paste from : arifkurniawan.wordpress.com Silahkan baca langsung. Hasil dari gibransyah - mas eko - arifkurniawan
—————————————————————–
One Day at Musolah
Suatu hari, di Cilincing, saya ketemu dengan Mas Kabul, kakak kelas saya dulu. Waktu itu, saya sedang membantu anak-anak musolah membuat bulletin jumat, koran-koranan yang diedarkan pada setiap hari jumat sebelum solat jumat.
Wah betapa bangganya saya ketemu Mas Kabul ketika sedang membantu anak-anak musolah merancang dan menerbitkan bulletin jumat. Hati saya berdegup kencang karena jumawa. Dalam hati, saya bilang, ‘ini waktunya gue nyombong ama Mas Kabul’. Saya ingin menunjukkan pada Mas Kabul, bahwa saya ini sudah ‘pintar’ dan ‘rendah hati’.
Jelas pintar dan rendah hatinya pakai tanda kutip. Sebab saya ingin menunjukkan kehebatan saya kepadanya. Saya ingin sombong. Saya ingin dianggap hebat oleh Mas Kabul. Rasa ingin dipuja tiba-tiba meruyak begitu saja.
Dan mata saya semakin berbinar-binar melihat Mas Kabul terkagum-kagum melihat software canggih di komputer kami. Ketika ia melihat anak-anak musolah pandai sekali memainkan alat bernama keyboard dan mouse untuk membuat bulletin jumat. Hidung saya kembang kempis karena bangga.
Lalu Mas Kabul bertanya, “Loh Rip. Musolah kampung ini kaya sekali. Bisa membeli perangkat lunak dan program mahal di komputer ini. Ndak mubazir?”
Saya kaget.
Bukan karena ia bertanya sambil make sarung dan sarungnya mau melorot copot. Tapi kaget karena pertanyaannya aneh.
- “Mas Kabul, sistem windows dan word kan murah. Lima ribu perak doang per CD”
+ “Itu bajakan rip”
- “Tapi kan nggak apa-apa demi mencerdaskan anak bangsa. Sistem komputer bajakan ini punya Bill Gates, bos perusahaan komputer. Orang paling kaya sedunia, Mas. Dan dunia ini sudah sedemikian kapitalis. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan bodoh. Bukan karena tidak mau belajar, tapi sistemlah yang memaksa orang miskin menjadi bodoh”
Mulut saya makin berapi-api. Memberikan kuliah pada Mas Kabul. Namun isinya bukan menekankan betapa pentingnya pendidikan buat anak bangsa. Melainkan, saya membela harga diri saya yang nampaknya akan hancur lebur di hadapan anak muda musolah.
Saya bawa semua teori. Mulai dari teori kepemilikan marxis hingga ayat-ayat quran yang sosialis. Semuanya demi membela harga diri saya yang benar-benar berantakan akibat Mas Kabul bilang bahwa komputer musolah yang kami pakai ‘dipertanyakan kehalalannya’.
Mas Kabul diam saja. Dengan tenang ia menjawab semua logika saya dalam kalimat “Rip, liat tuh tulisan KEBERSIHAN SEBAGIAN DARI IMAN di WC musolah. Liat ga? Itu ajakan untuk berbuat kebaikan, Rip. Semua orang juga mengerti artinya. Tapi coba kamu pikir, gimana kalau tulisan untuk berbuat kebaikan ternyata ditulis pakai barang curian? Gimana kalau itu ditulis pakai spidol dan papan colongan?”
Saya tidak bisa menjawab. Analogi Mas Kabul menusuk kalbu.
Saya diam cukup lama. Muka saya merah padam menanggung malu. Harga diri saya hancur lebur lantak tak bersisa. Maksud hati ingin di puja ternyata malah menanggung malu yang luar biasa.
Di depan ‘murid-murid musolah’, saya salah tingkah. Tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya pengen kabur sejauh-jauhnya. Maluuu..
Setelah lama terdiam. Mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang secuil di hati, saya beranikan diri bertanya.
- “Mas, saya malu. Maaf. Saya takabur. Jadi apa yang semestinya saya ajarin buat anak musolah, Mas Kabul”
+ “Kalau kamu tidak tahu alternatifnya. Tidak apa-apa, Rip”
- “Loh apakah ada cara belajar komputer alternatif tanpa harus jadi maling, Mas?”
+ “Ada… Pakai Linux”
Sejak saat itu, saya berguru pada Mas Kabul. Berguru menggunakan Linux. Cukup susah. Sebab tampilannya masih memakai Terminal, mirip komputer purbakala.
Namun tahun berganti. Linux tidak lagi mirip komputer zaman dinosaurus. Sudah ada sistem komputer Linux yang cantik dan ramah bernama Ubuntu. Dan yang paling penting adalah, mudah digunakan, sebab menggunakan tampilan berbahasa Indonesia.
Bahkan kini, beberapa pemuda nan pintar dari Indonesia sudah membuat Sistem Operasi komputer nan canggih namun mudah digunakan berbasis Ubuntu. Nama sistem operasinya, BlankON.
Beberapa hari di awal-awal tahun 2008 ini, saya kok keingetan Mas Kabul. Ketika saya belajar Linux, beliau pernah berkata pada saya “Rip, belajar Linux itu tidak hanya membuat kamu tambah pinter. Dan bahkan tidak pula hanya mengurangi dosa dengan tidak memakai barang curian. Tapi juga menghargai orang-orang yang telah bekerja keras membuat sopwer”.
Saya tiba-tiba punya mimpi. Muluk-muluk mimpinya. Saya kepingin punya sekolah yang mengajarkan Linux pada anak-anak Indonesia. Bukan karena strategi bisnis. Atau apalagi niat jumawa bin takabur seperti kasus di musolah bertahun-tahun lalu. Saya hanya kepingin, anak-anak Indonesia punya ‘pilihan’.
Dari Mas Kabul, saya belajar bahwa dalam hidup manusia berhak punya pilihan.
Dan alam sadar ini terbawa-bawa dalam mimpi. Saya ingin juga anak-anak Indonesia generasi mendatang punya pilihan.
Diantaranya; termasuk memilih untuk tidak menjadi pencuri.
Saya terus bermimpi.
Semakin lama, mimpi ini semakin mengganggu tidur saya.
—————————————————————–
No Title
Jumat, Januari 18, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar